Jumat, 29 April 2011

Wayangku, Wayangmu, Wayang Kita

http://katapinguin.blogspot.com
Abimanyu, Resi Abyasa, Antareja, Antasena, Arjuna,
Aswatama, Baladewa, Basupati, Bhisma,
Bima, Cakil, Citramarma, Drona, Drupadi,
Durmagati, Dursasana, Dursilawati,
Doryudana, Drupada, Gatotkaca, Anjani,
Garuda Jatayu, Hanoman, Indrajit, Kumbakarna,
Aswanikumba, Kumba-kumba, Laksmana, Rama Wijaya,
Rahwana, Batara Brahma…….

Sudahkah kalian mengenal nama-nama itu? Sebagai orang asli Indonesia,khususnya kita yang tinggal di pulau jawa, sangat mustahil bila sampai tidak pernah mengenal nama-nama tokoh pewayangan itu. Di dalam beberapa mata pelajaran kita akan mengenal istilah ‘wayang’. Dan disini kita akan membahas sekilas tentang wayng , semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang wayang. Wayang itu sendiri berasal dari Bahasa Jawa yang berarti ”bayangan”. Secara detail,wayang dapat didefinisikan sebagai sumber ilham dalam menggambarkan wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggemar karena sumber aslinya telah hilang.
Kesenian wayang sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya orang Indonesia asli di Jawa, bahkan sudah ada jauh sebelum kebudayaan Hindu datang ke Indonesia. Pada dasarnya atau asalnya pertunjukan wayang ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayaan untuk menuju “Hyang”, dan dilakukan pada malam hari oleh seorang medium (shaman). Pada masa agama Islam di Jawa, terjadi pembaharuan di dalam wayang yang berlangung terus menerus oleh para wali dan pujangga Jawa yang menyesuaikan perkembangan zaman dan keperluan pada masa itu. Khususnya, wayang digunakan sebagai saran dakwah Islam. isi dan fungsi wayang yang semula dari ritual agama Hindu bergeser menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dankomunikasi massa. Hal ini disesuaikan dengan nilai – nilai Islam yang dianut. Ternyata wayang yang telah diperbaharui, kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat.
Upacara semacam ini diperkirakan timbul pada jaman neohitikum Indonesia (1500SM). Semasa Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit, wayang mencapai puncaknya, seperti yang tergambar pada relief di candi-candi serta di dalam karya-karya sastra yang ditulis oleh Mpu Sendok, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, Mpu Tantular, dan lain-lain.
Wayang dalam mengambarkan realitasnya itu menggunakan logika dongeng. Wayang merupakan cerminan kehidupan manusia secara konkret. Karena itu, filsafat wayang berakar pada realitas nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa.
Wayang bukan hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan dalam kehidupan untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat dalam tingkat kesempurnaan abadi, sehingga tokoh-tokoh di pewayangan di identikkan dengan sifat-sifat manusia dan alam didalam kehidupan sehari-harinya.
Pada umumnya cerita-cerita pewayangan dalam pementasan di Indonesia biasanya diambulkan dari karya-karya sastra seperti serat mintaraga , serat dewaruci, serat parta krama, serat bratayudha, serat rama. Wayang sebagai mediator ini di gunakan untuk merekontruksi kembali sejarah dalam cerita serat Jawa tersebut. Sedangkan , lakon-lakon yang dimainkan dalam pementasan wayang itu duibagi menjadi empat kategori, yakni Pertama, lakon baru atau lakon pokok. Kedua, lakon carangan. Ketiga, lakon karangan. Keempat , lakon sempalan.
Dalam perkembangannya kemudian upacara ini dikerjakan oleh seorang yang memiliki keahlian, atau menjadikannya suatu pekerjaan tetap, yang disebut dalang.
Kini, sudah lebih dari 3.500 tahun, wayang bertahan mendampingi perubahan peradaban. Ia hidup, tumbuh, dan berkembang bersama problematika masyarakatnya. UNESCO mengukuhkan wayang Indonesia sebagai Karya Agung Warisan Budaya.
“Sebagai sebuah pertunjukan, wayang berada di ambang kematian,” ujar Bambang Murtiyoso, di antara hiruk-pikuk persiapan pertunjukan wayang di Jakarta, awal pekan lalu. Pakar seni pedalangan dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, Jawa Tengah, itu mengulang kembali ramalan yang didengungkan lima tahun silam.
Bambang mengemukakan ada beberapa tanda-tanda kematian wayang yang ia sarikan dari pengamatan dan penelitiannya. . Menurut catatannya, tanda kematian wayang paling penting adalah semakin semaraknya prilaku dan atau kecenderungan para dalang –terutama dengan reputasi tengahan dan bawah– sekadar menonjolkan aspek tontonan.
Karena itu, pada tahun 2003, tepatnya tanggal 7 November, UNESCO, badan PBB yang begerak di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, memproklamasikan wayang Indonesia sebagai “karya agung warisan budaya lisan dan tak benda” (a masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity).
Proses menuju penghargaan dunia itu menempuh jalan yang cukup berliku. Dibutuhkan waktu sekitar tiga tahun untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Dimulai pada tahun 2001, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata RI, melalui Deputi Bidang Seni dan Film menugaskan Sena Wangi,untuk mempersiapkan pencalonan wayang Indonesia sebagai karya agung budaya tak benda itu.
Dengan mempertimbangkan kriteria dan persyaratan yang tersurat dalam peraturan UNESCO tentang Proklamasi Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Tak Benda itu, Sena Wangi memilih lima dari sekitar 100 jenis wayang yang ada di Indonesia untuk diteliti.
Wayang adalah karya seni yang kompleks. Di dalamnya terkandung tidak kurang dari lima unsur kesenian yang berbeda, mulai seni pertunjukan, karawitan, sastra, ripta (kreativitas), dan widya (filsafat dan pendidikan).
Dalam buku Wayang: Asal Usul, Filsafat dan Masa Depannya, Ir. Sri Mulyono mendefinisikan wayang sebagai “bayangan”. Terdiri dari akar kata yang yang diberi awalan wa yang hanya memiliki fungsi dalam tata bahasa Jawa Kuno. Menurut buku tersebut, kekuatan wayang terletak pada aspek abstrak simboliknya di semua tataran. Karakter tokoh-tokoh wayang adalah simbol dari begitu banyak kata sifat dengan berbagai derivatnya. Lakon wayang adalah simbol-simbol kehidupan.
Dari sini tentunya kita dapat menilai betapa sesungguhnya kita perlu membenahi diri untuk lebih memperhatikan warisan budaya kita yang satu ini. Jangan sampai kita di juluki seperti pepatah Jawa “Wong Jowo lali Jawane”. Sungguh memalukan bukan??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar